KERAJAAN MAJAPAHIT TERBESAR DI INDONESIA

SALAH SATU KERAJAAN MAJAPAHIT TERBESAR DI INDONESIA

Majapahit (bahasa Jawa: ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀, translate. Måjåpahit; pengucapan bahasa Jawa: [mɔd͡ʒɔpaɪt] (dialek timur dan tengah) atau [mad͡ʒapaɪt] (dialek barat)), juga dikenal sebagai Wilwatikta (bahasa Jawa: ꦮꦶꦭ꧀ꦮꦠꦶꦏ꧀ꦠ; pengucapan bahasa Jawa: [wɪlwatɪkta]), adalah sebuah kemaharajaan thalasokrasi Hindu-Buddha Jawa yang berbasis di pulau Jawa, sekarang di Indonesia. Pada masa kejayaannya, setelah melakukan ekspansi militer yang signifikan, wilayah Majapahit dan negara-negara bawahannya meliputi hampir seluruh kepulauan Nusantara, meliputi Asia dan Oceania. Setelah perang saudara yang melemahkan kendali atas negara-negara bawahan, Majapahit perlahan-lahan mengalami kemunduran sebelum akhirnya runtuh pada tahun 1527 akibat invasi Kesultanan Demak. Kejatuhan Majapahit menandai munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

Didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1292, Majapahit bangkit berkuasa setelah invasi Mongol ke Jawa dan mencapai puncaknya pada era ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi dan putranya Hayam Wuruk, yang pemerintahannya pada pertengahan abad ke-14 ditandai dengan penaklukan yang meluas ke seluruh Asia Tenggara. Prestasi ini juga diakui oleh perdana menteri yang terkenal Gajah Mada. Menurut Nagarakṛtāgama yang ditulis pada tahun 1365, Majapahit adalah sebuah kerajaan dengan 98 wilayah kekuasaan, yang membentang dari Sumatra hingga Papua; termasuk wilayah-wilayah di Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand selatan, Timor Leste, dan Filipina barat daya (khususnya Kepulauan Sulu), meskipun cakupan pengaruh Majapahit masih menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan hingga saat ini. Sifat hubungan dan pengaruh Majapahit terhadap negara-negara pengikutnya di seberang lautan, serta statusnya sebagai sebuah kerajaan, masih memancing diskusi.

Majapahit merupakan salah satu kerajaan Hindu-Buddha terakhir di wilayah tersebut dan dianggap sebagai salah satu kerajaan terbesar dan terkuat dalam sejarah Indonesia dan Asia Tenggara. Kadang-kadang dianggap sebagai presiden batas wilayah Indonesia modern. Pengaruhnya diperkirakan melampaui wilayah Indonesia modern dan telah menjadi subjek banyak penelitian

Historiografi

Sejarah mengenai kemaharajaan Majapahit masih menjadi salah satu subjek penelitian yang menarik untuk dibahas dan ditelusuri lebih jauh lagi.Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan diantaranya adalah Pararaton (‘Kitab Raja-raja’) dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno.Pararaton menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama adalah puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World Programme) oleh UNESCO. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.

C.C. Berg menganggap bahwa sebagian naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan. Kebanyakan sarjana tidak menerima pandangan ini, karena catatan sejarah Majapahit sesuai dengan catatan Cina yang tidak mungkin memiliki maksud yang sama. Daftar penguasa dan detail struktur negara tidak menunjukkan tanda-tanda dibuat-buat. Pada tahun 2010, sekelompok pengusaha Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki membiayai pembuatan kapal Majapahit atau Spirit of Majapahit yang akan berlayar ke Asia. Menurut Takajo, hal ini dilakukan untuk mengenang kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan Kerajaan Yuan China (Mongol) dalam perang di Samudera Pasifik. Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic, jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni. Bahkan ada perguruan silat bernama Kali Majapahit yang populer di Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini mengklaim berakar dari Kemaharajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Filipina, Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand

Sejarah

Pendirian

Sebelum berdirinya Majapahit, Singasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran penasehat kerajaan Arya Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. Jawaban dari surat diatas disambut dengan senang hati. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru dengan pelabuhan utama di Canggu. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit” dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam Pararaton. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang terpercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Wijaya wafat pada tahun 1309

Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kalagemet, yang berarti “penjahat lemah”. Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Puncak kejayaan Majapahit

Rajapatni (Gayatri) wafat pada tahun 1350. Setelah ibundanya wafat, Ratu Tribhuwanatunggadewi menyerahkan tahta Majapahit kepada putranya, Hayam Wuruk. Ketika naik tahta Hayam Wuruk baru berusia 16 tahun

Ibnu Battuta dalam perjalanannya antara tahun 1332–1347 mengunjungi tempat yang disebut “Mul Jawa” (pulau Jawa atau Jawa Majapahit, kebalikan dari “al-Jawa” yang mengacu pada Sumatra). Negeri itu membentang sebesar 2 bulan perjalanan, dan memerintah negara Qaqa dan Qamara. Dia tiba di kota bertembok bernama Aqila/Kakula, dan mengamati bahwa kota itu memiliki kapal perang untuk bajak laut yang merampok dan mengumpulkan tol dan gajah dipekerjakan untuk berbagai tujuan. Dia bertemu dengan penguasa Mul Jawa dan tinggal sebagai tamu selama tiga hari Ibnu Battuta mengatakan bahwa perempuan Jawa menunggang kuda, memahami cara memanah dan berperang seperti laki-laki. Ibnu Battuta mencatat sebuah cerita tentang sebuah negara bernama Tawalisi yang menentang raja China (Dinasti Yuan) dan berperang dengannya menggunakan banyak kapal jung sampai dia berdamai dengan syarat tertentu

Setelah naik tahta Hayam Wuruk bergelar Sri Rajasanegara. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami zaman keemasan. Hayam Wuruk didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada. Hayam Wuruk menjadi raja Majapahit yang paling terkenal. Gajah Mada meneruskan cita-citanya. Satu persatu kerajaan di nusantara dapat ditaklukkan di bawah Majapahit. Wilayah kerajaannya meliputi hampir seluruh wilayah nusantara sekarang, ditambah Tumasik (Singapura) dan Semenanjung Melayu.

Tumasik jatuh ke tangan Majapahit pada masa raja kedua, Sri Wikrama Wira yang berkuasa pada 1357–1362. Sempat lepas dari kendali Majapahit saat mengalami konflik internal. Situasi ini dimanfaatkan oleh Kerajaan Ayutthaya dari Siam (Thailand) yang kemudian menjadi pemilik baru Tumasik. Namun, Majapahit berhasil merebutnya kembali pada sekitar tahun 1390.

Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani (1328–1350). Dan mencapai zaman keemasan pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang kesohor di pelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat nusantara.

Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) sebagai raja Majapahit berlangsung sesudah mangkatnya Sri Rajapatni pada tahun saka 1272 (1350), hal ini juga dibuktikan dalam piagam Singhasari yang menjelaskan bahwa dengan penobatan Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit, Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani berhenti memegang tampuk pimpinan negara. Hayam Wuruk dibantu dengan patihnya Yaitu Gadjah Mada yang dikenal dengan “Sumpah Palapa” dia bersumpah tidak akan merasakan palapa (menikmati istirahat) sebelum menyatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit.

Pada masa Hayam Wuruk hampir seluruh wilayah nusantara dapat dipersatukan dengan Panji-panji kerajaan Majapahit. Pengaruh kekuasaan dan kerjasama Majapahit meluas sampai ke luar nusantara. Pada era Hayam Wuruk agama Hindu menjadi agama para rakyat Majapahit secara keseluruhan. Berbeda dengan Hayam Wuruk yang beragama Hindu agama mahapatih Gajah Mada adalah Budha.

Dalam Negarakertagama, wilayah Majapahit diawali dengan sebuah kota kecil yang dibangun di daerah Tarik, yang awalnya merupakan sebuah hutan belantara, berkat orang-orang yang dikirim oleh Aria Wiraraja untuk membuka hutan tersebut, akhirnya berdiri sebuah desa bernama Majapahit Setelah Daha runtuh berkat serbuan tentara Tartar (Mongol) dengan Raden Wijaya juga ikut menyerbu Jayakatwang, desa Majapahit dijadikan pusat pemerintahaan kerajaan baru, yang disebut dengan kerajaan Majapahit. Pada masa itu kekuasaan Majapahit meliputi daerah lama kerajaan Singasari hanya sebagian saja wilayah Jawa Timur.

Sepeninggal Ranggalawe dan atas janji Raden Wijaya yang diberikan kepada Wiraraja kerajaan Majapahit dibelah menjadi dua. Bagian timur yang meliputi daerah Lumajang (dulu: Lamajang), diserahkan kepada Wiraraja. Pada masa ini kerajaan Majapahit hanya meliputi daerah Kediri, Singasari, Jenggala dan Madura

Wilayah Majapahit akhirnya diperluas berkat penundukan Sadeng, di tepi sungai Badadung dan Keta di pantai utara dekat Panarukan seperti diberitakan dalam Negarakertagama, pada masa ini Majapahit menguasai seluruh wilayah Jawa Timur dan pulau Madura. Baru setelah seluruh Jawa Timur di kuasai penuh, Majapahit mulai menjangkau pulau-pulau di luar Jawa yang disebut nusantara, meliputi; Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Kepulauan Nusa Tenggara, Papua, Maluku, Tumasik (Singapura), dan sebagian kepulauan Filipina.Seperti yang dijelaskan pada kitab Negarakertagama Pupuh XII–XV:

Pupuh XII

  1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja, Selatan Buda-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka Barat tempat arya, menteri dan sanak-kadang adiraja.
  2. Di timur, tersekat lapangan, menjulang istana ajaib, Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci, Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem, Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.
  3. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi, Di situ menetap patih Daha, adinda Baginda di wengker, Batara Narapati, termashur sebagai tulang punggung praja, Cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
  4. Di timur laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada, Menteri wira, bijaksana, setia bakti kepada Negara, Fasih bicara, teguh tangkas, tenang tegas, cerdik lagi jujur, Tangan kanan maharaja sebagai, penggerak roda Negara.
  5. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus, Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Buda, Terlangkahi rumah para menteri, para arya dan satria, Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.
  6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang cemerlang, Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama, Negara-negara di nusantara, dengan Daha bagai pemuka, Menunduk menengadah, berlindung di bawah Wilwatikta.

Pupuh XIII

  1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Dharmasraya pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pantai Kampe, Haru serta Mandailing, Tamiang, negara Perlak dan Padang. 2. Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk, Negara-negara di pulau Tanjungnagara: Kapuas-Katingan Sampit, Kota Lingga, Kotawaringin, Sambas, Melawai ikut tersebut.

Pupuh XIV

  1. Kandangan, Landa Samadang dan Tirem tak terlupakan Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir, Barito, Sawaku, Tabalong, ikut juga Tanjung Kutei, Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
  2. Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu, Berikut Langkasuka, Saimdang, Kelantan serta Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah, Jerai, Kanjapi Niran, semua sudah lama terhimpun.
  3. Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah, Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
  4. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah, Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya, Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk, Sampai Udamakatraya dan pulau lain lainnya tunduk.
  5. Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Sholat, Muar, Lagi pula Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain.

Pupuh XV

  1. Inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan, Siam dengan

Ayodyapura, begitupun Darmanagari, Marutma, Jayapura, begitu juga Singa Nagari, Campa, Kamboja dan Yawana yalah negara sahabat.

  1. Tentang pulau Madura, tidak dipandang negara asing, Karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, Konon tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat, Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.
  2. Semenjak nusantara menadah perintah Sri Baginda, Tiap musim tertentu

mempersembahkan pajak upeti, Terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan, Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti

Kemunduran

Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Kematian Hayam Wuruk dan adanya konflik perebutan takhta menyebabkan daerah-daerah Majapahit di bagian utara Sumatra dan Semenanjung Malaya memerdekakan diri, di mana semenanjung Malaya menjadi daerah sengketa perang Majapahit dan Ayutthaya hingga nantinya muncul Kesultanan Melaka yang didukung oleh Dinasti Ming sebagai solusi imbas daerah tanjung tersebut sering terjadi perang dan saat itu juga ramai berbagai pendatang.

Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya yaitu Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta. Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1404–1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, sementara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dihukum mati. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas wilayah-wilayah taklukannya di daerah-daerah lain.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampe maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara. Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri.

Pada masa pemerintahan Wikramawardhana, daerah kekuasaan Majapahit di pulau Sumatera hanya tinggal Indragiri, Jambi dan Palembang, sebagaimana ditulis pada catatan Yingya Shenglan ciptaan Ma Huan, salah satu penerjemah laksamana Cheng Ho. Dan setelah kematian Wikramawardhana dan masa pemerintahan penerusnya, daerah Indragiri diberikan kepada Mansyur Syah dari Malaka sebagai hadiah pernikahannya dengan putri Majapahit, yang semakin mengurangi kendali Majapahit di Sumatra.

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1429, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1429 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Bhre Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 M.

Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa radja akibat krisis pewarisan tahta antara putra Rajasawardhana dengan Girishawardhana, adik Rajasawardhana, putra Kertawijaya. Girishawardhana menang dan naik tahta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh Suraprabhawa (Singhawikramawardhana), adiknya, anak bungsu Kertawijaya.

Kemudian pada tahun 1468, Bhre Kertabhumi putra bungsu Rajasawardhana memberontak terhadap Singhawikramawardhana. Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre Kertabumi, Singhawikramawardhana melarikan diri ke pedalaman di daerah Keling, Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri). Setelah Singhawikramawardhana meninggal, ia digantikan oleh putranya Ranawijaya.

Pada 1474, Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Hal ini diperkuat oleh prasasti Trailokyapuri (Jiyu) dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa pada tahun 1474, ia telah mengalahkan Kertabumi  Brawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana hingga ia digantikan oleh Patih Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan Demak.

Keruntuhan

Kekalahan Bhre Kertabhumi dari Ranawijaya pada tahun 1474, memicu perang antara Kerajaan Majapahit dengan Demak, karena Demak sudah menjadi penguasa pesisir Jawa yang dominan, dan mereka mengambil alih daerah Jambi dan Palembang dari kekuasaan Majapahit yang telah terpukul dan berfokus di pedalaman pulau Jawa.

Konon, waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun 1527 Tetapi dalam tradisi Jawa yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala atau kronogram tersebut adalah wafatnya Bhre Kertabhumi pada tahun 1478.

Sebenarnya perang Majapahit-Demak ini sudah mulai mereda ketika Patih Udara menggantikan Girindrawardhana dan mengakui kekuasan Demak, tetapi peperangan berkecamuk kembali ketika Patih Udara meminta bantuan Portugis untuk mengalahkan Demak. Sehingga pada tahun 1527, Demak melakukan serangan ke Majapahit yang mengakhiri sejarah Majapahit.

Dengan jatuhnya ibukota yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, pada awal abad ke-16 kekuatan kerajaan Demak akhirnya mengalahkan sisa-sisa Majapahit dan menjadi akhir dari Kerajaan Majapahit. Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tomé Pires), dan Italia (Antonio Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Pati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M. Sisa-sisa keluarga Majapahit keturunan Girindrawardhana kemudian melarikan diri ke daerah Panarukan, Blambangan (sekarang daerah Kabupaten Banyuwangi). Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali.

Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Pasuruan, Panarukan, Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.

Militer

Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan keris. Teknik pembuatan keris mengalami penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.

Tentara Majapahit dibagi menjadi 2 jenis, pasukan utama yaitu prajurit tetap (tentara dan bhayangkari) dan pasukan wajib militer yang diambil dari para petani. Senjata utamanya adalah tombak.Pada awalnya, kavaleri ada dalam jumlah terbatas, mereka digunakan untuk pengamanan dan patroli, mungkin dipersenjatai dengan tombak. Setelah serangan Mongol, penggunaan kuda di Jawa semakin meluas terutama untuk perang Kereta perang digunakan untuk mengangkut para prajurit ke medan perang dan “diparkirkan” sebelum bertempur. Beberapa kereta perang memang digunakan dalam pertempuran, sebagai contoh patih Nambi menggunakan kereta perang dan berperan sebagai pemanah pada pemberontakan Ranggalawe (1295 Masehi), Gajah Mada juga menaiki kereta perang saat menyerang pasukan Sunda dalam pertempuran Bubat (1357). Kereta perang dipahatkan pada Candi Penataran, tampaknya dimodelkan dari dunia nyata. Gajah perang digunakan terutama untuk transportasi, atau sebagai tunggangan untuk bangsawan dan tentara berpangkat lebih tinggi.

Majapahit memiliki 30.000 tentara profesional yang bekerja tetap, dimana para prajurit dan komandannya digaji dengan emas. Ini menunjukkan adanya standing army (tentara permanen) sebuah pencapaian yang hanya bisa dicapai segelintir kerajaan Asia Tenggara. Selain tentara profesional ini, Majapahit diperkuat dengan pasukan yang berasal dari negara bawahan dan pemimpin daerah. Dari catatan Suma Oriental dan Sejarah Melayu, jumlah keseluruhan pasukan Majapahit dapat mencapai 200.000 orang. Pasukan Majapahit bersifat multi etnis, mirip seperti militer Kesultanan Yogyakarta yang memiliki pasukan Bugis dan Daeng (Makassar). Sebagaimana dicatat Hikayat Raja-Raja Pasai:

Maka kedua pihak laskar pun kembali-lah masing-masing pada tempat-nya. Demikian-lah perang itu tiap-tiap hari, kira-kira tiga bulan lama-nya perang itu, tiada bertahan, karna Jawa itu sa-bagai datang juga bantu-nya dari benua asing.

Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak dan meriam kapal sederhana yang disebut cetbang. Teknologi pembuatan bubuk mesiu masuk ke Jawa saat invasi Mongol pada tahun 1293. Majapahit di bawah Mahapatih (perdana menteri) Gajah Mada memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu yang diperoleh dari dinasti Yuan untuk digunakan dalam armada laut. Cetbang awal (disebut cetbang bergaya timur) bentuknya mirip meriam dan meriam tangan Cina. Cetbang bergaya timur kebanyakan dibuat dari bahan perunggu dan merupakan meriam isian depan. Ia menembakkan proyektil berupa panah, namun peluru bulat dan proyektil co-viative juga dapat digunakan. Panah ini dapat berujung pejal tanpa peledak, maupun disertai bahan peledak dan pembakar di belakang ujungnya. Di bagian dekat belakang, terdapat kamar atau bilik bakar, yang merujuk kepada bagian yang menggelembung dekat belakang meriam, di mana mesiu ditempatkan. Cetbang ini dipasang pada dudukan tetap, ataupun sebagai meriam tangan yang diletakkan di ujung galah. Ada bagian mirip tabung di bagian belakang meriam. Pada cetbang jenis meriam tangan, tabung ini digunakan sebagai tempat untuk menancapkan galah.

Karena dekatnya hubungan maritim Nusantara dengan wilayah India Barat, setelah tahun 1460 jenis senjata bubuk mesiu baru masuk ke Nusantara melalui perantara orang Arab. Senjata ini sepertinya adalah meriam dan bedil tradisi Turki Usmani, misalnya prangi, yang merupakan meriam putar isian belakang. Ia menghasilkan cetbang jenis baru, disebut “cetbang bergaya barat”. Ia dapat dipasang sebagai meriam tetap atau meriam putar, yang kecil dapat dengan mudah dipasang di kapal-kapal kecil. Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal. Pada zaman ini, bahkan sampai abad ke-17, prajurit angkatan laut Nusantara bertempur di panggung yang biasa disebut balai. Ditembakan pada kumpulan prajurit dengan peluru scattershot (peluru sebar atau peluru gotri, dapat berupa grapeshot, case shot, atau paku dan batu), cetbang sangat efektif untuk pertempuran jenis ini.

Majapahit memiliki pasukan elit yang disebut Bhayangkara. Tugas utama pasukan ini adalah untuk melindungi raja dan kaum bangsawan, namun mereka juga dapat diterjunkan ke pertempuran jika diperlukan. Hikayat Banjar mencatat perlengkapan Bhayangkari di istana Majapahit:

Maka keluar dengan perhiasannya orang berbaju-rantai empat puluh sarta padangnya barkupiah taranggos sakhlat merah, orang membawa astenggar [senapan sundut] empat puluh, orang membawa perisai serta jepangnya empat puluh, orang membawa dadap [sejenis perisai] serta sodoknya [senjata mirip tombak dengan mata lebar] sapuluh, orang membawa panah serta anaknya sapuluh, yang membawa tombak perampokan bersulam emas empat puluh, yang membawa tameng Bali bertulis air mas empat puluh.
— Hikayat Banjar

Pasukan militer di berbagai bagian Asia Tenggara menggunakan pakaian pelindung ringan. Seperti umumnya di Asia Tenggara, sebagian besar pasukan Jawa terdiri dari rakyat jelata yang dimobilisasi sementara dari petani yang dipimpin oleh prajurit dan kasta bangsawan. “Tentara petani” biasanya bertelanjang dada mengenakan sarung, bersenjatakan tombak, pedang pendek, atau busur dan anak panah. Prajurit yang lebih kaya menggunakan baju pelindung yang disebut kawaca. Menurut Irawan Djoko Nugroho, baju pelindung ini mungkin berbentuk seperti tabung panjang dan terbuat dari tembaga yang dicetak. Sebaliknya, prajurit infanteri profesional (bukan rakyat wajib militer) Majapahit mengenakan zirah sisik yang disebut siping-siping Ada juga semacam helm baja yang disebut rukuh. Jenis baju zirah lain yang digunakan di Jawa era Majapahit adalah waju rante (zirah rantai) dan karambalangan (lapisan logam yang dikenakan di depan dada). Dalam Kidung Sunda pupuh 2 bait 85 dijelaskan bahwa mantri-mantri (menteri atau perwira) Gajah Mada mengenakan baju besi dalam bentuk zirah rantai atau plastron dengan hiasan emas dan mengenakan pakaian kuning,sedangkan dalam Kidung Sundayana pupuh 1 bait 95 disebutkan bahwa Gajah Mada mengenakan karambalangan berhias timbul dari emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.

Majapahit juga mengawali penggunaan senjata api di Nusantara. Meskipun pengetahuan membuat senjata berbasis serbuk mesiu di Nusantara sudah dikenal setelah serangan Mongol ke Jawa, dan pendahulu senjata api, yaitu meriam galah/meriam tangan (bedil tombak), dicatat Ma Huan dalam Yingya Shenglan-nya digunakan oleh orang Jawa pada tahun 1413, pengetahuan membuat senjata api sejati datang jauh kemudian, setelah pertengahan abad ke-15. Ia dibawa oleh negara-negara Islam di Asia Barat, kemungkinan besar oleh orang Arab. Tahun pengenalan yang tepat tidak diketahui, tetapi dapat dengan aman disimpulkan tidak lebih awal dari tahun 1460.

Xing Cha Sheng Lan (星槎勝覽) yang ditulis oleh Fei Xin sekitar tahun 1436 menyebutkan bahwa Jawa (Majapahit) dilengkapi dengan tentara berbaju zirah dan perlengkapan perang, dan merupakan pusat masyarakat timur.

Haiguo Guangji (海国广记) dan Shuyu zhouzi lu (殊域周咨錄) mencatat bahwa Jawa sangat luas dan padat penduduknya, serta tentara berbaju zirah dan meriam tangan (火銃—huǒ chòng) milik mereka mendominasi lautan timur.

Catatan Tome Pires tahun 1513 menyebutkan pasukan tentara Gusti Patih (Patih Udara), wakil raja Batara Jaya (mungkin Brawijaya atau Brawijaya), berjumlah 200.000 orang, 2.000 diantaranya adalah prajurit berkuda dan 4.000 adalah musketeer. Duarte Barbosa sekitar tahun 1514 mengatakan bahwa penduduk Jawa sangat ahli dalam membuat artileri dan merupakan penembak artileri yang baik. Mereka membuat banyak meriam 1 pon (cetbang atau rentaka), senapan lontak panjang, spingarde (arquebus), schioppa (meriam tangan), api Yunani, gun (bedil besar atau meriam), dan senjata api atau kembang api lainnya. Setiap tempat di sana dianggap sangat baik dalam mencetak/mengecor artileri, dan juga dalam ilmu penggunaanya

Kavaleri sejati pertama, unit terorganisir dari penunggang kuda yang kooperatif, mungkin telah muncul di Jawa selama abad ke-12 M.[94] Naskah Jawa kuno kakawin Bhomāntaka menyebutkan kisah kuda Jawa awal dan sejarah menunggang kuda. Naskah tersebut mungkin mencerminkan konflik (secara alegoris) antara kavaleri Jawa yang baru jadi dan infanteri elit mapan yang membentuk inti dari pasukan Jawa sampai abad ke-12.Pada abad ke-14 M, Jawa menjadi peternak kuda yang penting dan pulau ini bahkan terdaftar di antara pemasok kuda ke Cina. Selama masa Majapahit, jumlah kuda dan kualitas kuda keturunan Jawa terus berkembang sehingga pada tahun 1513 masehi Tomé Pires memuji kuda-kuda yang sangat dihiasi dari bangsawan Jawa, dilengkapi dengan sanggurdi bertatahkan emas dan pelana yang dihiasi dengan mewah yang “tidak ditemukan di tempat lain di dunia”. Kuda poni Sumbawa tampaknya berasal dari kuda domestikasi Jawa yang diperkenalkan oleh Majapahit sejak abad ke-14 M.

Majapahit memiliki pasukan angkatan laut yang berbeda dengan satuan pasukan darat, yang disebut wwang jaladhi. Pasukan laut mendapat perlakuan istimewa dalam hal fasilitas. Personel angkatan laut Majapahit berjumlah besar, sebagaimana dicatat Nagarakretagama pupuh 16 bait 5:

irika tanganya bhumi sakha emban ing Jawa Puri, (Kemudian Aryabhumi [tanah-tanah lain] di mana saja semuanya disatukan di kerajaan Jawa,)

yamateh i sajna sang nrpati kapal satya ring ulah, (mematuhi setiap perintah dari sang raja. Semuanya setia dalam sikap,)

pituwi sing ajñalanghyana dinon wiśirnna sahana, (kendati ada para pelanggar perjanjian, mereka diserang oleh tentara yang dikirim ke luar negeri dan di hancurkan semuanya,)

tekap ikang watek jaladhi mantry aneka suyaśa. (oleh aktivitas kelompok mantri jaladhi [perwira angkatan laut] yang berjumlah banyak, agung.)

Untuk angkatan laut, armada Majapahit menggunakan jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah total jong yang dimiliki Majapahit, tetapi jumlah terbesar yang pernah digunakan dalam satu ekspedisi adalah berjumlah 400 buah, tepatnya saat Majapahit menyerang Pasai. Setiap kapal berukuran panjang keseluruhan sekitar 28,99–88,56 meter, berat mati (deadweight) sekitar 100–2000 ton dan dapat membawa 50–1000 orang. Sebuah jong dari tahun 1420 hampir saja menyeberangi samudra Atlantik.Jenis jong besar sembilan tingkat yang tercatat di Kidung Panji Wijayakrama-Rangga Lawe (sekitar 1334) disebut jong sasangawangunan, ia membawa 1000 prajurit dengan layar merah. Jong yang umum digunakan oleh Majapahit rata-ratanya dapat membawa 600–700 orang, berbobot mati 1200–1400 ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 76,18–79,81 m.Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil. Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wangunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik China dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.Jenis kapal lain yang digunakan Majapahit adalah malangbang, kelulus, jongkong, cerucuk, tongkang, dan pelang. Pada abad ke-16, lancaran dan penjajap juga digunakan. Penggambaran angkatan laut Majapahit pada masa modern sering kali menggambarkan kapal-kapal bercadik, namun pada kenyataannya kapal ini berasal dari abad ke-8 yaitu kapal Borobudur, yang digunakan dinasti Syailendra. Penelitian oleh Irawan Djoko Nugroho menyimpulkan bahwa jenis kapal utama yang digunakan oleh Majapahit tidak menggunakan cadik, dan menggunakan ukiran Borobudur sebagai dasar rekonstruksi kapal Majapahit adalah sesat dan menyesatkan

Pelayaran

Selama era Majapahit penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Ludovico di Varthema (1470–1517), dalam bukunya Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa orang Jawa Selatan berlayar ke “negeri jauh di selatan” hingga mereka tiba di sebuah pulau di mana siang harinya hanya berlangsung selama empat jam dan “lebih dingin daripada di bagian dunia mana pun”. Penelitian modern telah menentukan bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km) selatan dari titik paling selatan Tasmania.

Orang Jawa, seperti suku-suku Austronesia lainnya, menggunakan sistem navigasi yang mantap: Orientasi di laut dilakukan menggunakan berbagai tanda alam yang berbeda-beda, dan dengan memakai suatu teknik perbintangan sangat khas yang dinamakan star path navigation. Pada dasarnya, para navigator menentukan haluan kapal ke pulau-pulau yang dikenali dengan menggunakan posisi terbitnya dan terbenamnya bintang-bintang tertentu di atas cakrawala. Pada zaman Majapahit, kompas dan magnet telah digunakan, selain itu kartografi (ilmu pemetaan) telah berkembang. Pada tahun 1293 Raden Wijaya memberikan sebuah peta dan catatan sensus penduduk pada pasukan Mongol dinasti Yuan, menunjukkan bahwa pembuatan peta telah menjadi bagian formal dari urusan pemerintahan di Jawa. Penggunaan peta yang penuh garis-garis memanjang dan melintang, garis rhumb, dan garis rute langsung yang dilalui kapal dicatat oleh orang Eropa, sampai-sampai orang Portugis menilai peta Jawa merupakan peta terbaik pada awal tahun 1500-an.

Ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka (1511), orang Portugis mendapatkan sebuah peta dari seorang mualim Jawa, yang juga menampilkan bagian dari benua Amerika. Mengenai peta itu, Albuquerque berkata:

… peta besar seorang mualim Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkeh, navigasi orang Cina dan Gore, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya saya orang Jawa yang bisa membaca dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, dan pulau Jawa dan Banda, asal pala dan fuli pala, dan tanah raja Siam, dan juga akhir dari navigasi orang Cina, arah yang dilaluinya, dan bagaimana mereka tidak bernavigasi lebih jauh.
– Surat Albuquerque untuk raja Manuel I dari Portugal, 1 April 1512.

Duarte Barbosa menyebutkan tempat dan rute yang dikunjungi kapal-kapal Majapahit, yang meliputi Maluku, Timor, Banda, Sumatra, Melaka, Cina, Tenasserim, Pegu, Benggala, Pulicat, Koromandel, Malabar, Cambay (Khambat), dan Aden. Dari catatan penulis lain, dapat diketahui bahwa ada juga yang pergi ke Maladewa, Calicut (Kozhikode), Oman, Aden, dan Laut Merah. Para penumpang membawa istri dan anak-anak mereka, bahkan sampai-sampai beberapa dari mereka tidak pernah meninggalkan kapal untuk pergi ke pantai, juga tidak memiliki tempat tinggal lain, karena mereka dilahirkan dan mati di kapal

Kebudayaan

Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret–April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas

Ibu kota Majapahit di Trowulan adalah kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Negarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu. Makam Troloyo/Tralaya, sebuah kompleks pemakaman Islam ditemukan di daerah Trowulan, ibukota kerajaan Majapahit. Para ahli berpendapat bahwa kuburan itu digunakan antara tahun 1368 dan 1611 M, yang berarti para pedagang Muslim telah tinggal di ibu kota sejak pertengahan abad ke-14 pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.Dua batu nisan Muslim di Troloyo berasal dari abad ke-14 (1368 M, 1376 M). Kedekatan situs dengan kraton berarti ada orang Muslim yang memiliki hubungan dekat dengan istana

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahit Lah yang paling ahli menggunakannya.Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal dari masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah candi bentar, gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berdasar struktur bata. Gaya bangunan seperti ini masih dapat ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.

“Di sekitar itu (pulau Sumatra) ada pulau besar, bernama Jawa, yang memiliki ukuran 3000 mil. Dan rajanya memiliki bawahan tujuh raja yang bermahkota.[ Sekarang pulau ini sangat padat penduduknya, dan merupakan yang terbaik kedua dari semua pulau yang ada. Karena di dalamnya tumbuh kapur barus, kemukus, kapulaga, buah pala, dan banyak rempah-rempah berharga lainnya. Ia juga memiliki persediaan makanan yang baik kecuali anggur.

Raja pulau ini (Jawa) memiliki istana yang benar-benar mengagumkan. Karena itu sangat besar, dan memiliki tangga yang sangat besar, lebar dan tinggi, dan anak tangganya dari emas dan perak secara bergantian. Demikian juga jalan istana dipasangi satu ubin dari emas dan yang lain dari perak, dan dindingnya di bagian dalam dilapisi dengan lapisan emas, di mana ada pahatan ksatria yang semuanya terbuat dari emas, yang memiliki lingkaran emas besar di sekitar kepala mereka, seperti yang kami berikan untuk sosok orang-orang suci. Dan lingkaran ini semua dikelilingi dengan batu mulia. Terlebih lagi, langit-langitnya terbuat dari emas murni, dan singkatnya, istana ini lebih kaya dan lebih indah daripada istana lain yang ada pada hari ini di dunia.

Sekarang Khan Agung Cathay (Cina dinasti Yuan) sudah sering berperang dengan raja ini; tetapi selalu dapat dikalahkan. Dan masih banyak hal lain disana yang belum saya tulis.”

Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: “Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone”. Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatra, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.

Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318–1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.

Dalam Yingya Shenglan—catatan tentang ekspedisi Cheng Ho (1405–1433)—Ma Huan menggambarkan budaya, adat istiadat, berbagai aspek sosial dan ekonomi Chao-Wa (Jawa) pada masa Majapahit.Ma Huan mengunjungi Jawa pada ekspedisi ke-4 Cheng Ho pada tahun 1413, pada masa pemerintahan raja Majapahit Wikramawardhana. Ia menggambarkan perjalanannya ke ibu kota Majapahit: pertama, ia tiba di pelabuhan Tu-pan (Tuban) di mana ia melihat sejumlah besar pemukim Tionghoa bermigrasi dari Guangdong dan Cho Chang. Kemudian dia berlayar ke timur menuju kota perdagangan baru yang berkembang pesat, Ko-erh-hsi (Gresik), Su-pa-erh-ya (Surabaya), dan kemudian berlayar ke pedalaman menuju sungai dengan perahu kecil ke barat daya hingga mencapai pelabuhan sungai Chang-ku (Canggu). Melanjutkan perjalanan darat ke arah barat daya sampailah ia di Man-che-poI (Majapahit), tempat tinggal raja. Ada sekitar 200 atau 300 keluarga asing yang tinggal di tempat ini, dengan tujuh atau delapan pemimpin yang melayani raja. Iklimnya selalu panas, seperti musim panas. Dia menggambarkan pakaian raja: memakai mahkota dari daun dan bunga emas atau kadang-kadang tanpa penutup kepala; bertelanjang dada tanpa mengenakan gamis, bagian bawahnya memakai dua ikat pinggang berbahan sutra bersulam. Tali sutra tambahan dilingkarkan di pinggang sebagai ikat pinggang, dan di ikat pinggang tersebut disisipkan satu atau dua bilah pendek yang disebut pu-la-t’ou (belati atau lebih tepatnya keris), berjalan tanpa alas kaki. Saat bepergian ke luar, raja mengendarai gajah atau kereta yang ditarik sapi

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *